Followers

Kamis, 16 Juni 2011

Takdir dalam Sepucuk Surat

Lyla-ku tersayang,

Bagaimana kabarmu disana? Apakah kamu baik-baik saja? Aku disini merindukanmu. Aku merindukan kehadiranmu disampingku, Lyla. Apakah kau juga merindukanku? 

Lyla, begitu banyak hal yang ku lalui hari-hari ini tanpa kehadiranmu. Begitu banyak perasaan dan kata-kata yang tak sempat ku ungkapkan kepadamu di hari itu. Dan aku menyesal karena kini telah ada jarak yang memisahkan kita. Dan aku tahu kita takkan bisa seperti masa-masa yang dulu, ketika kau masih ada di sampingku dan ketika aku masih mampu menemanimu dalam hari-hari lalu yang kita lewati bersama.

Aku ingat saat pertama kali bertemu denganmu di kebun bunga milik kakekmu. Diantara hamparan bunga mawar merah dan putih yang merekah dengan indahnya ku lihat seorang dara yang tak kalah indah dari bunga-bunga itu. Senyummu saat itu begitu mempesonaku hingga aku tak mampu melupakan indahnya lekung bibir mungilmu dan lesung pipi yang seolah menyapaku. Aku benar-benar hanyut dalam pesonamu saat itu hingga kuputuskan untuk langsung menghampiri dara indah itu. Saat itu kau terlihat ragu, namun aku tahu dirimu pun merasakan getaran yang juga kurasakan saat aku datang mendekatimu. Ya, getaran yang membuat jantungku berdegup sangat kencang hingga peluh menetes dari dahiku. Kakiku pun tak kuasa berpijak kokoh pada bumi seolah aku terbang hanyut dalam buaianmu. Namun ku coba untuk tetap kuat hanya agar aku dapat mengenalmu. Dan kau pun akhirnya menyebutkan namamu. Nama yang paling indah yang pernah kudengar. Nama yang membuatku selalu terbayang akan hamparan bunga mawar merah dan putih di kebun bunga saat aku berjumpa denganmu. Namamu, Lyla.

Lyla, apakah kau juga ingat pada malam pertama kali kita berkencan setelah beberapa kali pertemuan yang mendebarkan denganmu tiap kali aku melewati kebun bunga milik kakekmu? Sesudah pertemuan kita yang kelima akhirnya aku berani mengajakmu keluar. Tentunya dengan meminta ijin Tuan Odie, kakekmu yang ramah itu. Aku tahu mungkin saat itu kau juga masih ragu untuk pergi denganku karena siapalah aku ini. Kau hanya mengenalku sebagai tukang kayu yang tinggal tak jauh dari kebun bunga kakekmu. Dan tukang kayu—seperti dongeng-dongeng dahulu dan memang itu benar adanya—adalah orang-orang miskin yang sebenarnya tak bisa disandingkan dengan orang secantik dirimu, Lyla. Entah apakah kau telah lelah menantikan pangeran berkuda putih atau kau memang tak memandangku dari statusku sehingga kau akhirnya memutuskan untuk mengiyakan ajakanku untuk keluar denganmu di malam purnama itu.

Ya, kencan pertama kita adalah saat bulan purnama bersinar dengan indahnya. Namun tetap saja keindahannya tak mampu menyaingi keindahanmu, Lyla. Keindahanmu bagaikan keindahan surga yang menjadi penyegar kehidupanku. Dan aku yakin kau memang titisan Dewa yang sengaja dikirimkan untukku. Lyla, memang sejak pertemuan kita di kebun bunga milik kakekmu dan setelah kencan pertama kita di bawah sinar bulan purnama itu aku merasa itu adalah hal paling indah dalam kehidupanku. Tak pernah aku merasa begitu hidup dan begitu bersyukur bertemu dengan bidadari secantik dirimu, Lyla. Kencan pertama kita hanya berlangsung selama satu jam namun itu merupakan waktu paling lama dalam hidupku dan aku sangat menyukainya. Aku begitu merindukan saat-saat ketika kau duduk untuk pertama kalinya disebelahku dan kita berdua saling menatap dibawah cahaya bulan purnama yang seolah iri karena kita berdua sedang dimabuk cinta sedangkan sang bulan hanya sendiri menghadapi dunia ini. Dan aku benar-benar menjadi orang paling beruntung malam itu di alam semesta ini karena bisa mendekap hangat tubuhmu untuk pertama kalinya di bawah pancaran sinar sang rembulan. Ya Lyla, kuputuskan malam itu saat kencan pertama kita kaulah memang gadis yang selama ini ku impikan dan ku inginkan. Hanya dirimu, Lyla.

Apakah kau masih ingat pertemuan kita di bawah langit musim semi beberapa waktu setelah kencan pertama kita? Saat itu hari-hariku terasa begitu indah dan berbunga. Hatiku dipenuhi nyanyian namamu dan aku sangat menikmati tiap detik iramanya. Lyla, aku sungguh-sungguh jatuh cinta padamu. Kau gadis pertama yang membuatku mengerti indahnya dunia ini. Di musim semi itu kita berdua berjalan sepanjang hutan di sore hari yang indah. Langit terasa hangat dengan mekarnya bunga-bunga di sekeliling kita. Aku ingat kau memetik bunga mawar merah dan mencabuti tiap kelopaknya dengan lembut lalu menyusunnya di atas batu besar dan merangkai kelopak-kelopak indah itu menjadi sebuah bentuk hati yang menyatakan bahwa kau juga mencintaiku. Lyla, aku sungguh-sungguh bersyukur bertemu denganmu. Kau yang paling indah bagiku dibandingkan musim semi, kelopak bunga, ataupun sinar bulan purnama. Hanya kau yang paling indah, Lyla.

Suatu ketika di penghujung tahun aku datang padamu membawa kabar “buruk”. Apa kau juga ingat akan hal itu? Kau begitu senang menyambutku dari depan kebun bunga seperti biasanya, namun raut mukamu berubah ketika mendengar kabar dariku. Tak ku temukan lagi senyum indah di wajahmu. Dan matamu tak bersinar seterang biasanya. Kau hanya diam membiarkanku menyelesaikan kabar “buruk” dariku. Tidak seburuk itu seharusnya, namun aku mengerti kau tak pernah menyukai hal ini. Berpisah denganmu adalah hal yang harus ku lakukan saat itu, Lyla. Percayalah aku pun merasa sedih. Sama seperti apa yang kau rasakan begitu mendengar hal itu dari bibirku sendiri. Hanya saja aku berusaha tetap tegar dan kuat di hadapanmu agar kau pun kuat untuk menghadapi tiap kalimat yang ku sampaikan. Namun kau tidak kuasa menahannya. Aku tahu Lyla, aku tahu. Butiran air mata membanjiri kedua pipimu. Bukan tangis bahagia yang ada begitu kau tahu kenyataan bahwa aku harus pergi untuk beberapa waktu lamanya karena ternyata aku mendapat kesempatan untuk belajar dan juga bekerja di sebuah negeri antah berantah di luar sana. Kau hanya menangis dalam diam dan aku pun tak kuasa menghiburmu. Apa kau tahu Lyla? Setiap butir air mata yang kau jatuhkan saat itu begitu menyiksaku hingga aku tak sanggup mengejarmu saat kau masuk ke dalam rumah kakekmu karena sesak yang teramat sangat kau rasakan. Aku pun merasakan hal yang sama, Lyla. Sesak.

Hari itu akhirnya tiba juga, Lyla. Kau tak mau menemuiku sesaat sebelum kereta kuda membawaku pergi. Aku sedih. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Hanya saja tekadku untuk pergi ke negeri antah berantah itu sudah bulat. Aku melakukannya demi kau, Lyla. Demi masa depan kita kelak. Dan pada akhirnya aku mau kau menunggu saat itu tiba ketika aku kembali ke pangkuanmu. Ku titipkan surat serta sekuntum mawar merah segar kesukaanmu untukmu pada kakekmu. Tuan Odie mengucapkan salam perpisahan padaku yang ku anggap sebagai salam perpisahan darimu. Kau benar-benar marah padaku karena memutuskan pergi. Lyla, aku sungguh mencintaimu dan kau tahu akan hal itu.

Entah berapa lama aku belajar dan juga bekerja. Jujur aku terus memikirkanmu, Lyla. Hanya kau yang ada dalam pikiranku selama itu dan memang itu adalah kenyataannya. Aku selalu bertekad untuk kembali padamu sebagai seseorang yang membanggakan dan pada akhirnya aku memperoleh kehormatan untuk menjadi pendamping hidupmu selamanya. Lyla, aku sungguh-sungguh memegang komitmen itu dan ku harap kau pun juga demikian.

Aku pun memang benar-benar kembali sebagai seseorang yang membanggakan ke kampung halamanku, negeri tempat kau berada. Dan yang ku tuju pertama kali begitu tiba adalah kebun kakekmu, tempat dimana aku dulu biasa melihat seorang gadis yang tak kalah cantik dari bunga-bunga mawar merah dan putih di kebun itu. Gadis yang memiliki senyum terindah di jagad raya ini. Gadis yang selalu ku pikirkan siang dan malam. Gadis yang mampu membuat hatiku menyanyikan namanya dalam nada-nada cinta. Dirimu, Lyla. Hanya saja ketika pertama kali ku jejakkan kakiku di depan kebun bunga milik kakekmu yang nampak bukanlah gadis yang kukenal dulu itu. Kau tampak begitu berbeda dan bahkan sangat berbeda.

Kedua mata gadis itu lalu beradu pandang denganku. Dan aku tertegun sesaat, Lyla. Itu adalah matamu. Dan aku tahu betul akan hal itu. Hanya saja pancaran yang ku rasakan berbeda dengan pancaran matamu, Lyla. Gadis itu mulai tersenyum dan memang ku lihat senyummu. Hanya saja itu bukan senyum Lyla-ku yang dulu kukenal. Ada sesuatu yang berbeda dan aku tak mengerti akan hal itu. Senyum gadis itu lantas meredup sesaat mengenali diriku. Dan aku pun sadar itu adalah kau, Lyla. Gadis yang berbeda itu adalah dirimu. Kita sama-sama terdiam memandangi satu sama lain hingga ada seorang anak perempuan kecil menghampirimu dan memanggilmu Ibu. Aku tertegun. Jantungku saat itu berdebar tak karuan ketika mendengar anak itu menyebutkan kata Mama padamu, Lyla. Aku sungguh-sungguh berharap aku salah mendengarnya. Hanya saja suara anak kecil itu begitu jelas dan akhirnya aku sadar memang itulah kenyataannya. Dia memanggilmu dengan sebutan Ibu, Lyla. Dan aku menunggu sepatah kata darimu. Kau hanya diam memandangiku lantas menggendong anak perempuan itu. Dan aku tercekat, anak itu mirip dengan Lyla yang dulu ku kenal. Dan dengan bodoh aku berpikir apakah kau berubah menjadi anak kecil itu, Lyla? Dan aku memang bodoh begitu menyadari bahwa kau mulai berbicara padaku dan sedikit bercerita tentang anak itu. Ya, akhirnya kau membuka mulutmu dan memang itu suaramu yang ku rindukan entah berapa lama. Dan akhirnya aku mengetahui sedari awal pendengaranku tidaklah salah, dan memang anak itu memanggilmu dengan sebutan Ibu.

Lyla, apa kau tahu perasaanku saat itu setelah sekian lama tidak bertemu denganmu dan pada akhirnya aku kembali namun dengan kabar buruk yang keluar dari bibirmu itu. Ya, kau pun akhirnya berkata bahwa kau sudah menikah. Kau menikahi seorang lelaki dari negeri seberang yang dijodohkan oleh kakekmu. Sesaat aku merasa dunia kiamat. Aku tak mampu menahan kesedihan dan memang itu adalah kenyataannya. Kau pun akhirnya tertegun saat aku menjatuhkan butiran air mata di hadapanmu untuk pertama kalinya. Aku benar-benar merasa sedih, Lyla. Aku benar-benar hancur sesaat kau ucapkan itu semua. Kenyataan pahit yang harus ku bayar sesaat setelah meninggalkanmu untuk satu tujuan masa depan bersamamu. Namun takdir rupanya berkata lain. Kita tak pernah dipersatukan sejak awal dan kini semua terungkap.

Lyla, aku berharap kau hidup bahagia selamanya. Dengan kehidupanmu kini dan laki-laki yang telah mendampingimu. Aku memang belum pernah bertemu ataupun melihatnya, hanya saja dari raut wajahmu kau memang bahagia ada di sampingnya untuk saat ini. Aku tak pernah menyangka semudah itu kau putuskan impian dan harapan yang dahulu sempat kita bangun bersama. Aku tak pernah menyangka ternyata bukan aku yang menjadi ayah bagi anak-anakmu. Aku tak pernah menyangka akan ini semua Lyla. Perpisahan dengan derai air mata yang dulu pernah kau teteskan kini dipertemukan dengan pertemuan yang kali ini aku menangis. Entahlah, Lyla. Ku harap tangisanku bertemu kembali denganmu adalah tangisan bahagia.

Seandainya kau mau menunggu sedikit lama lagi hingga aku kembali... Rasanya tentu tak akan sesakit ini. Mungkin takdir memang tak berpihak pada kita.


Dengan cinta,

Edward.

***

Aku hanya diam sesaat membaca kembali surat yang tiba di tanganku pagi ini. Surat yang diamplopkan beserta setangkai bunga mawar merah yang ditujukan padaku. Aku tak pernah menyangka akan membaca kisah seperti ini. Ternyata ini kisah yang pernah ku torehkan dalam kehidupan seorang laki-laki bernama Edward. Perlahan air mataku pun menetes namun aku tak ingin menghapusnya. Biar saja air mata ini mengalir bersama perasaan cintaku 10 tahun lalu yang pernah ku berikan untuknya dan memang akan selalu untuknya. Untuk Edward. Cinta sejatiku yang tak pernah direstui oleh sang takdir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar