Followers

Rabu, 02 Juni 2010

Bus Kota


Nama                           : Intan Ekapratiwi
NIM                            : 08/267794/SA/14293
Mata Kuliah                : Menulis Kreatif
Feature


Bus Kota


            Anda salah satu pengguna setia transportasi publik bernama bus kota? Atau Anda pernah menggunakan transportasi publik tersebut? Apa yang Anda rasakan ketika Anda naik bus kota?
            Siang itu saya sengaja menuju Malioboro dengan naik bus kota jalur  yang kebetulan trayeknya memang melayani tujuan yang akan saya tuju. Saya naik dari depan Fakultas Kehutanan UGM. Setelah menunggu kira-kira lima sampai sepuluh menit akhirnya muncullah bus kota usang berwarna orange dengan tulisan JALUR 4 besar-besar di depan bagian bus. Saya pun segera memberhentikan bus dan naik.
            Bus yang saya naiki rupanya sepi. Saya adalah satu-satunya penumpang. Saya pun duduk di bangku depan dekat pintu masuk. Seraya memberikan ongkos kepada kernet bus, saya memperhatikan keadaan bus yang saya tumpangi. Bus ini kelihatan sudah tua dengan besi yang sudah keropos disana-sini. Langit-langit bus pun terlihat usang. Mungkin usia bus yang saya tumpangi sudah hampir mendekati usia saya ini? Entahlah tapi yang pasti keadaan bus yang seperti ini membuat saya sebagai penumpang sekaligus pengguna setia transportasi publik yang murah meriah ini sedikit merasa tidak nyaman.
            Ketika tiba di depan Rumah Sakit Sardjito beberapa orang pemuda naik. Mungkin mereka mahasiswa. Ada juga bapak-bapak yang merokok ikut naik ke dalam bus yang saya tumpangi. Bapak-bapak merokok tersebut duduk di bangku seberang sebelah saya, sedangkan beberapa mahasiswa tadi duduk di deret belakang. Asap rokok dari bapak yang merokok tadi tertiup ke arah saya. Dan seketika itu juga bus dipenuhi asap rokok. Ada-ada saja tingkah laku para penumpang bus. Sudah keadaan bus yang butut membuat kita merasa tidak nyaman ditambah lagi kelakuan para penumpangnya yang terkadang seenaknya saja. Ya seperti bapak-bapak ini yang merokok sembarangan.
            Bus yang tua ini pun bergerak perlahan melewati jalanan kota Jogja yang cukup padat siang itu. Dengan bunyi mesin yang menderu dan asap hitam pekat yang dikeluarkan oleh knalpot si bus membuat saya berpikir bahwa bus ini benar-benar sudah tua dan tidak layak dipakai lagi. Bus ini memang bukan satu-satunya bus tua yang masih dioperasikan. Banyak bus-bus tua lainnya diluar sana yang memiliki kondisi sama seperti bus yang saya naiki ini. Bahkan di kota besar seperti Jakarta sekalipun saya masih menjumpai bus-bus tua yang masih beroperasi bersama-sama dengan transportasi publik lain yang mulai canggih seperti Transjakarta atau bahkan kancil. Mungkin baiknya jika bus yang saya naiki ini dimuseumkan saja karena benar-benar hanya rongsokan besi tua yang seharusnya tidak lagi digunakan. Tapi apa boleh buat saya tahu bahwa meskipun rongsokan tua ini dapat dimuseumkan tetap saja beberapa orang justru dapat hidup dari sini. Rongsokan tua yang berguna ini menopang hidup beberapa orang yang mungkin tidak pernah kita pikirkan sebelumnya bahwa mereka dapat mencari nafkah dari sini. Bayangkan, sopir bus dan kernet yang mengais rejeki dari bus tua ini. Belum lagi pengamen yang nantinya akan bergantian naik ke atas bus dan mengamen mencari sekeping uang logam. Rupanya memang inilah wajah sosial dari sebuah bus kota.
            Mungkin terkadang ketidaknyamanan yang kita rasakan dari bus kota tua seperti yang satu ini sering kita jumpai, namun apakah kita pernah berpikir dibalik rongsokan besi tua tersebut ada orang-orang yang justru memanfaatkannya sebagai sarana pencarian nafkah. Itulah dia potret kehidupan. Yang memang tidak selalu menyenangkan dan nyaman, dari balik rongsokan tua bernama bus kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar